Interview with Leaders: Menguji Kekuatan Indonesia di Tengah Volatilitas Perekonomian Global

TRX NEWS – Selama lebih dari dua tahun, perhatian dunia tertuju pada situasi pandemi COVID-19 yang menyebar di seluruh dunia. Namun meski situasi saat ini berangsur-angsur pulih dan membaik, permasalahannya tampaknya tidak berkurang.

Alih-alih melakukan upaya dan kerja sama bersama untuk mengubah situasi wabah menjadi endemik, masyarakat internasional kini kembali direpotkan oleh perang di Eropa Timur. Keputusan Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, apapun alasannya, terbukti mengubah peta pemulihan dunia dari COVID-19. Juga termasuk di Indonesia.

Pada artikel sebelumnya, saya dan tim redaksi TRX NEWS.com berbicara secara eksklusif dengan Priyo Santoso, Presiden dan CEO BNP Paribas Asset Management, mengenai volatilitas perekonomian global dan isu-isu yang memerlukan perhatian bersama. Artikel ini kami terbitkan dengan judul https://www.TRX NEWS.com/market-news/interview-with-ceo-mencari-politik-equilibrium-rantai-pasok-dunia-dari-konflik-russia-ukraina.

Sementara itu, dalam artikel ini, kita akan membahas lebih detail mengenai dampak situasi global terhadap perekonomian domestik Indonesia. Perbincangan kami terjadi di kantor BNP Paribas Asset Management di Bilangan Sudirman, Jakarta Selatan (28/7/2022). Berikut adalah beberapa poin penting yang dibahas selama wawancara.

Pertanyaan: Kita telah banyak membicarakan keadaan perekonomian dunia di masa lalu, mulai dari gangguan rantai pasokan global akibat perang Rusia-Ukraina, tekanan inflasi, dan ancaman krisis ekonomi global. Lalu apa dampak situasi internasional yang rumit terhadap perekonomian Indonesia?

Jawaban: Mengenai keadaan di dalam negeri, saya berpendapat bahwa keadaan di luar negeri melalui Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani, Menteri Perekonomian saat itu, Bapak Aylanga Hartarto dan lain-lain, pasti mempengaruhi keadaan di luar negeri. dan itu nyata, hanya saja secara fundamental perekonomian kita sangat kuat. Risiko krisis ekonomi di negara kita masih sangat rendah dibandingkan negara-negara Eropa. Meski sebagian orang cukup skeptis dengan pernyataan ini. Dan tidak masalah.

Namun cara untuk melihat bahwa pengumuman pemerintah bukan sekadar gertakan dan retorika, menurut saya, sangat sederhana. Situasi Indonesia saat ini sangat diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas yang cukup tinggi. Dari sana, Indonesia mendapat keuntungan tambahan yang juga bagus secara finansial karena memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah untuk menstabilkan dan mengendalikan harga komoditas yang bisa naik akibat gangguan pasokan. Jadi, nyatanya meski di tengah tekanan yang besar, situasi ini bisa membuat perekonomian Indonesia lebih stabil.

Pertanyaan: Apakah keyakinan tersebut cukup menjadi dasar bagi Bank Indonesia (BI) untuk yakin bahwa tidak perlu menaikkan suku bunga acuan? Apakah BNP Paribas Asset Management sendiri meyakini kebijakan suku bunga sudah optimal? Ataukah perlu menaikkan suku bunga sesuai keinginan sebagian pelaku pasar?

A: Memang benar perlu dinaikkan berdasarkan permintaan pasar (BI rate). Karena menurut saya masalah yang menjadi perhatian seluruh bank sentral dunia saat ini adalah satu masalah, yaitu menjaga tingkat inflasi serendah mungkin. Ini adalah masalah yang dihadapi semua orang saat ini. Saya cenderung menggunakan kata “kontrol” daripada “mengurangi” karena ada konsekuensi lebih lanjut jika inflasi turun terlalu jauh.

Di sini, semua bank sentral harus menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi. Seperti yang dilakukan The Fed di AS yang tekanan inflasinya sudah sangat tinggi. Sejak Juni lalu mencapai 9,2 persen, maka perlu dilakukan kenaikan suku bunga agar tidak meningkatkan inflasi yang sangat berbahaya bagi perekonomian dalam negeri mereka. Hal ini juga akan mempengaruhi daya beli mereka. Dengan menaikkan suku bunga, Amerika Serikat ingin menjaga permintaan agar tidak naik terlalu tinggi guna memulihkan keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Untuk kasus Indonesia, Bank Indonesia telah menetapkan batas toleransi inflasi sebesar 4 persen. Namun para ekonom melihat potensi yang lebih besar. Sebab kita tahu, harga bahan pangan pokok, terutama produk yang sangat bergantung pada impor seperti gandum, mau tidak mau akan naik. Namun menurut pendapat saya, inflasi tidak akan setinggi di negara-negara Barat dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Jadi inflasi akan terus naik, tapi saya kira kita bisa menjaganya tetap di bawah lima persen karena pemerintah, seperti saya katakan di atas, mampu menahannya dan punya cukup amunisi dan ruang anggaran (tren pertumbuhan). Misalnya untuk konsumsi bahan bakar, lalu harga listrik dan gas. Saya yakin pemerintah mampu mengatasi tekanan industri ini.

Namun jika dinamika harga komoditas di pasar global ke depan menurun, maka timbul pertanyaan: apa yang harus terus kita prediksi? Karena hal itu juga akan mempengaruhi permintaan bahan bakar global. Jika harga komoditas ini turun, langkah apa yang harus segera disiapkan pemerintah. Apa yang harus kita persiapkan untuk anggarannya? Jadi itu adalah sesuatu yang harus kita lihat di masa depan.

Pertanyaan: Seperti yang Anda sampaikan, karena kondisi ke depan tidak selalu sesuai dengan rencana dan analisa yang kita siapkan, maka kebijakan BI adalah menjaga suku bunga tetap dalam tekanan, tidak hanya di Indonesia. Bukankah kebijakan ini terlalu berisiko di seluruh dunia? Bagaimana jika situasi yang terjadi melebihi perkiraan BI?

A: Malah masyarakat awam melihat BI tidak berbuat apa-apa, karena fokusnya lebih pada suku bunga acuan. Hal ini pada prinsipnya juga tidak salah, karena kenaikan inflasi dilawan dengan menghilangkan kelebihan likuiditas dari pasar. Kami mengurangi likuiditas jumlah uang beredar. Likuiditas seringkali diserap ke luar negeri, salah satu caranya adalah dengan menunda intervensi pasar dengan menaikkan suku bunga atau membeli surat utang.

Namun tidak menaikkan suku bunga bukan berarti BI tidak berbuat apa-apa. BI telah melakukan banyak upaya untuk mengurangi likuiditas uang yang beredar di pasar. Saya melihat mereka melakukan hal ini dengan meningkatkan aktivitas pasar secara lebih agresif, seperti GWM (Minimum Reserve Required-red). Memang benar. Di sisi lain, seperti dijelaskan BI, mereka aktif menjual obligasi yang dimilikinya di pasar.

Ini cara mereka menyerap kelebihan likuiditas, sehingga repo rate mingguannya tetap di 3,5 persen, tidak berubah, tapi kalau melihat kurva tahunan sekarang, Indonesia akan menjual surat utang yang jatuh tempo satu sampai lima tahun. Jadi kalau dilihat kurva tahunannya naik, itu jangka pendek. Di satu sisi, repo (bunga) mingguan tidak meningkat, namun suku bunga jangka pendek juga meningkat.

Jadi, ada banyak cara untuk melawan inflasi. Maksudnya adalah mengurangi kelebihan likuiditas di pasar, namun caranya mungkin berbeda. Meskipun banyak bank sentral lain yang memilih untuk menaikkan suku bunga acuannya, BI lebih fokus pada operasi pasar.

Pertanyaan: Mengapa BI lebih memilih aksi pasar dengan menaikkan GWM dan menjual obligasi yang dimilikinya dibandingkan langsung menaikkan suku bunga acuan, dalam hal ini one-week repo rate? Apakah ada dampak psikologis sosial atau efek riak (efek domino) yang diperkirakan BI akan terjadi jika suku bunga benar-benar dinaikkan?

A: Padahal, para pengamat atau pelaku pasar di seluruh dunia secara pragmatis melihat bahwa ketika inflasi meningkat maka suku bunga acuan juga harus meningkat. Skema ini mungkin cocok untuk negara lain. Tapi bagi Indonesia, likuiditasnya banyak dan kita masih dalam siklus pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, jadi kita ingin semua sektor perekonomian bisa bekerja sama, menaikkan suku bunga juga merupakan persoalan yang sulit. pintar karena tidak akan baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Padahal, pemerintah dan Bank Indonesia ingin mendorong pinjaman kepada dunia usaha, karena para pengusaha yang tidak berani meminjam ke bank di situasi pascapandemi ingin berbenah secara internal sebelum kembali berekspansi. Ketika suku bunga naik, permintaan kredit tidak tinggi, namun bank-bank sebenarnya mengalami overlikuidasi.

Saya pikir ini adalah aspek lain dari pilihan kebijakan BI saat ini untuk mempertahankan suku bunga acuan pada 3,5 persen. (TSA)

Related Posts

Dukung Peningkatan TKDN, Industri Manufaktur Butuh Inovasi dan Ekosistem Terintegrasi

TRX NEWS – Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dinilai menjadi tantangan yang harus segera direspon oleh para pelaku dunia usaha agar dapat menghasilkan produk yang…

Sengkarut PT Sritex (SRIL), Kadin Dorong Pemerintah Tak Lakukan Intervensi Langsung

TRX NEWS – Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anindya Novyan Bakri menilai pemerintah harus mengambil langkah bijak untuk menyelesaikan perselisihan terkait PT Sritex (SRIL). Anindaya mengatakan Kadin yakin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Coachella 2025 Rilis Daftar Musisi yang Tampil, Ada Lady Gaga hingga Lisa BLACKPINK

Coachella 2025 Rilis Daftar Musisi yang Tampil, Ada Lady Gaga hingga Lisa BLACKPINK

Imbas Donald Trump Terpilih Jadi Presiden AS, Kekayaan Elon Musk Nyaris Sentuh USD300 Miliar

Imbas Donald Trump Terpilih Jadi Presiden AS, Kekayaan Elon Musk Nyaris Sentuh USD300 Miliar

Cara Mendapatkan Keringanan Utang untuk Mengelola Keuangan Anda

Cara Mendapatkan Keringanan Utang untuk Mengelola Keuangan Anda

Bank Dunia Prediksi Harga Komoditas Anjlok Tajam pada 2025

Bank Dunia Prediksi Harga Komoditas Anjlok Tajam pada 2025

Perjuangan Seorang Pengangguran hingga Sukses Hasilkan Rp6 Miliar lewat Onshop

Perjuangan Seorang Pengangguran hingga Sukses Hasilkan Rp6 Miliar lewat Onshop

AgenBRILink Jadi Bukti Nyata Peran BRI Dorong Ekonomi yang Inklusif

AgenBRILink Jadi Bukti Nyata Peran BRI Dorong Ekonomi yang Inklusif