TRX NEWS – Pemerintah diminta menunda rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diterapkan mulai Januari 2025. Sebab, kenaikan PPN akan berdampak jangka panjang terhadap perekonomian.
Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Imamuddin Yuliadi mengatakan, penerapan kebijakan tersebut dinilai kurang memadai di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu. Bahkan, hal itu juga akan memperburuk sektor riil.
“Kebijakan ini harus ditunda atau direvisi karena kondisi perekonomian sedang lesu,” ujarnya, Jumat (22/11/2024).
Jika PPN terus naik, dikhawatirkan akan berdampak pada perekonomian. Hal ini akan menurunkan daya beli masyarakat, konsumsi menurun, dan dunia usaha khususnya UKM akan menghadapi kenaikan biaya produksi dan berisiko kehilangan pasar.
“Kenaikan PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa sehingga menimbulkan inflasi,” kata Sekretaris Dewan Guru UMY.
Imamudin juga menyaksikan meluasnya protes masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan perpajakan. Fungsi fiskal harus mencakup tiga aspek, yaitu stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
Jika penerimaan pajak negara meningkat maka belanja pajak negara juga akan meningkat. Distribusi dan alokasi pajak harus tepat sasaran seperti untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
“Pemerintah harus profesional, masyarakat harus bisa merasakan dampak pajak,” ujarnya.
Oleh karena itu, tegasnya, kebijakan ini harus ditunda dan ditinjau ulang dengan mengundang para ahli dan pemangku kepentingan untuk menyerap aspirasi dan mencari solusi terbaik.
“Pemerintah harus memberikan alternatif pilihan pembangunan lain agar tidak menimbulkan reaksi emosional,” ujarnya.
(Dhera Arizona)