TRX NEWS – Pemerintah diyakini mempunyai peluang besar untuk mempromosikan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Langkah ini diperlukan sebagai strategi untuk mengejar target nol emisi karbon (NZE) pada tahun 2060.
“Saya yakin dengan kebijakan yang komprehensif dan perkembangan baru, Pemerintah akan mampu mengatasi banyak kendala dalam produksi bioetanol sebagai BBN,” kata Komisioner Energi Satya Widya Yudha dalam keterangan resminya, Sabtu (6/10/2024).
Menurut Satya, hal terpenting yang harus dilakukan pertama kali adalah menghilangkan kendala-kendala yang ada. Setelah dekomposisi, bioetanol dapat diproduksi dalam jumlah besar.
Satya mengatakan, “Bioetanol harus dikembangkan. Tapi masih ada kendala. Menurut saya, semua permasalahan harus segera diselesaikan.”
Dalam upaya mengatasi kendala tersebut, jelas Satya, hal pertama yang perlu segera diatasi adalah keterbatasan sumber daya alam dan perubahan bahan baku.
“Sebagian besar masih berasal dari produk pangan. Dari segi harga, masih terjadi konflik antara bioetanol untuk energi atau bioetanol untuk pangan,” kata anggota Dewan Energi Nasional periode 2020-2024 itu.
Sedangkan tantangan kedua, menurut Satya, belum adanya mekanisme insentif untuk mengatasi perbedaan harga bioetanol dan bensin.
Kemudian permasalahan ketiga adalah belum adanya kebijakan yang mengintegrasikan sektor hulu dan hilir sehingga sulit memperoleh bahan baku dengan harga wajar.
“Selain itu, luas lahan semakin berkurang dengan tingkat produksi yang stagnan,” kata Satya.
Lebih lanjut, Satya mengatakan tantangan yang dihadapi adalah perlunya regulasi lintas kementerian dan lembaga yang mengatur peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan dalam penerapan wajib bioetanol.
Selain itu, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia menargetkan produksi bioetanol sebesar 13,7 juta kiloliter mulai tahun depan, sehingga menurut Satya, segala kendala harus segera diatasi.
Satya mengatakan, “Yang penting kendala-kendala itu bisa diatasi. Tapi saya yakin dengan adanya perkembangan baru dari pemerintahan baru, maka kendala-kendala tersebut juga akan teratasi.”
Setelah mengatasi kendala tersebut dan mencari solusinya, kata Satya, selanjutnya kita bisa mendiskusikan kemungkinan produksi bioetanol. Satya memperkirakan puncak produksi bioetanol nasional saat ini hanya berkisar 63.000 kiloliter.
“Jika diukur, rata-rata produksi bioetanol berkisar 40.000 kiloliter per tahun. Batasan produksi memang menjadi tantangan saat ini karena kita masih bergantung pada bahan baku berupa molase. Oleh karena itu, dilakukan diversifikasi bahan baku seperti pati kelapa sawit tua. , sorgum manis atau mikroalga harus didorong agar tidak terjadi kekurangan bahan baku jika bioetanol diproduksi,” kata Satya.
Menurut perhitungan Satya, bioetanol dengan konsentrasi hanya dua persen tidak akan mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar manusia. Sebab, dengan senyawa sebesar itu, dibutuhkan 750.000 kiloliter bioetanol setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Satya mendesak pemerintah segera merumuskan kebijakan yang komprehensif dan memastikan program bioetanol berjalan lancar.
“Meliputi pemberian insentif, penyusunan peta jalan dan rencana aksi, termasuk tujuan kebijakan pengadaan lahan, diversifikasi bahan baku dari kementerian/lembaga terkait,” kata Satya.
(topan sukma)