TRX NEWS—Banyak anggota timnas Indonesia yang miskin dan hidup dalam kemiskinan. Sebelum akhirnya bisa meraih impian dan berkompetisi di lapangan, mereka melalui perjalanan yang tidak mudah.
Menjadi atlet profesional bukanlah suatu jenis pekerjaan biasa yang bisa Anda lakukan sebagai karier di bidang lain. Atlet harus berbakat dan biasanya berlatih sejak usia muda. Namun tidak semua atlet profesional memiliki awal yang mudah. Ingatlah bahwa olahraga profesional tidaklah murah.
Perjuangan timnas meraih impian tersebut bisa menjadi inspirasi banyak orang. Meski tumbuh dalam keterbatasan, namun mereka tetap mampu membuktikan diri dan mendapatkan kepercayaan untuk bersaing di lapangan.
Rangkuman iNews (9/12), diikuti banyak anggota timnas Indonesia yang miskin dan hidup dalam kondisi terbatas. 3 wakil yang tadinya miskin kini sukses
1. Vitan Suramani
Witan Sulaeman merupakan pemain sepak bola asal Palu, Sulawesi Tengah. Ia lahir di keluarga sederhana, ayahnya adalah seorang pedagang sayur. Hobinya sejak kecil adalah bermain sepak bola, namun ayahnya tidak mampu menyekolahkannya ke sekolah sepak bola.
Jadi, Vintan kecil hanya belajar sepak bola dengan menonton pertandingan sepak bola di desanya. Baru ketika masuk SMP, Witan masuk SSB Galara Utama di Palu.
Dia mulai bermain di liga antar pelajar. Witan melanjutkan pendidikannya di sekolah olahraga di Ragunan dan mengikuti jejak idolanya: Bambang Pamungkas. Berkat kerja kerasnya, ia terpilih masuk timnas U-16 dan U-19.
Witan juga pernah bermain untuk klub luar negeri, khususnya Radnik Surdulica (Serbia), lalu Lechia Gdansk (Polandia) dan Senica (Slowakia). Witan akan kembali ke Indonesia pada tahun 2023 untuk bermain untuk Persia.
2. Pathum Aran
Pratama Arhan adalah pemain sepak bola lainnya yang juga berasal dari keluarga dengan sedikit atau tanpa kekayaan. Ibunya adalah seorang penjual sayur keliling, sedangkan ayahnya bekerja serabutan.
Ahan sendiri suka bermain sepak bola sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Menurut ibunya, Ahan suka bermain bola karet di depan rumah bersama anak-anak tetangganya, karena wilayahnya tidak ada lapangan.
Ibunya pun rela berhutang untuk membelikan sepatu bola senilai Rp 25.000 untuk Arhan yang kuliah di SSB di Blora. Ingat, olahraga adalah aktivitas yang memakan biaya, apalagi jika itu adalah jalur karier.
Bek muda kelahiran 2001 ini bermain untuk PSIS Semarang setelah lulus dari SSB. Klub asing masih meliriknya. Arhan bergabung dengan Tokyo Verdy pada tahun 2022 dan kemudian pindah ke Suwon (Korea Selatan) pada tahun 2023. Ia juga sempat dipanggil ke timnas U-19 dan U-23.
3. Mohammad Supidi
Supriadi adalah pemain sepak bola asal Surabaya. Ia bukan berasal dari keluarga kaya, ibunya adalah seorang pedagang es teh pinggir jalan yang sering berjualan di lapangan sepak bola tempat Rungkut FC sering berlatih.
Supriadi sering membantu ibunya di bidang penjualan ketika ia masih muda, kemudian ia mengikuti sepak bola sampingan. Melihat ketertarikannya pada sepak bola, pelatih Rungkut FC menawarinya untuk bergabung.
Dari Hungkut FC, Suriadi berkontribusi pada tim dan meraih gelar juara liga. Supriadi juga pernah mengalami kejadian buruk, saat dirinya ditipu oleh seseorang yang mengaku sedang mencari bakat sepak bola.
Bukannya berangkat latihan sepak bola di Jakarta, pelaku malah meninggalkannya setelah menuntut uang sebesar Rp 1,8 juta. Supriadi sempat berjualan kaos dan sepatu untuk mencari uang untuk makan karena ibunya tidak bisa mengirimkan uang kepadanya.
Untungnya, peruntungannya membaik setelah itu ketika ia bergabung dengan tim baru. Hingga ia berhasil menjadi sayap Persebaya. Supriadi juga dipanggil ke timnas U-17 dan U-19.
Berikut beberapa kisah wakil yang dulunya miskin, namun kini menjadi pesepakbola sukses.
(Nada Kunia)